TUMBUH KEMBANG GEREJA DI INDONESIA

TUMBUH KEMBANG GEREJA DI INDONESIA

Gereja di Indonesia dibagi menjadi dua bagian, yaitu Gereja Katolik dan Gereja Kristen. Itulah mengapa ada dua Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik di Kementerian Agama Republik Indonesia. Gereja Kristen di Indonesia yang berlanjut sampai saat ini didirikan pada abad ke-12. Orang-orang Kristen Mesir menyatakan bahwa beberapa Gereja Kristen didirikan di Barus pada abad ke-7, daerah pantai barat Sumatera Utara, yang sering menjadi tempat perdagangan. Barus dikunjungi oleh pedagang India dan karena itu dikaitkan dengan Saint Thomas Christian di India. Sering juga disebut sebagai Gereja Nestorian, gereja paling besar di dunia sebelum berkembangnya Gereja Roma Katolik. Gereja Katolik juga mulai muncul pada awal abad ke-14 melalui Misi Katolik Roma ke Indonesia di bawah arahan Mattiussi, yang mengunjungi Sumatra, Jawa, dan Banjarmasin.

Tumbuh Kembang Gereja Mula-mula di Indonesia

Sejarah Gereja Kristen di Indonesia dimulai ketika Portugis tiba di Kesultanan Malaka, sekarang dikenal sebagai Negara Malaysia, pada 1509 untuk explorasi produk setempat yang mereka butuhkan. Pada awalnya, hubungan mereka berjalan baik. Kemudian Portugis menaklukkan Goa. Beberapa konflik antara Muslim dan Kristen terjadi. Muslim di Malaka berpikir bahwa kedatangan orang-orang Kristen Portugis hanya akan menimbulkan masalah bagi mereka. Penaklukan Malaka, dianggap sebagai titik balik dan membawa semua Muslim Malaka ke perasaan menentang orang-orang Kristen Portugis. Kaum Muslim di Aceh dan Kekaisaran Ottoman juga menentang. Portugis berhasil membangun beberapa gereja di Malaka.

Di pihak Katolik, Mattiussi, seorang biarawan Italia, menyatakan bahwa ia telah ditugaskan oleh Paus untuk berlayar dari Padua ke Sumatra. Akhirnya tiba di Jawa dan Banjarmasin. Misi ini dimulai pada 1318 dan berakhir dengan perjalanan darat melalui Cina, Vietnam, dan Eropa pada 1330. Dalam catatannya, ia juga menulis sebuah kerajaan Jawa yang memiliki gaya Buddha Hindu, seperti di Majapahit. Misi tersebut dianggap sebagai misi perintis, karena Gereja Katolik dapat menerima informasi tentang keadaan Asia mengenai misi yang pada saat itu tidak dipengaruhi oleh agama Katolik.

Ketika Malaka diduduki oleh Portugis pada 1511, misionaris Katolik tiba di daerah itu. Salah satu tokoh tumbuh kembang paling terkenal dan penting dalam sejarah gereja di Indonesia adalah Francis Xavier.

Ketika Portugis diusir dari Ternate pada 1574, banyak umat Katolik di daerah itu dibunuh atau masuk Islam. Pada 1605, umat Katolik yang tersisa sekali lagi dipaksa untuk mengadopsi doktrin baru, yaitu Protestan. Baru pada tahun 1808, di bawah kepemimpinan Daendels, umat Katolik diberi kebebasan untuk mengikuti agama mereka sendiri.

Sejarah gereja Kristen berkembang ketika I Wayan Mastra yang lahir di Bali menjadi Kristen pada tahun 1972. Dia menjadi Kristen setelah mengunjungi sebuah sekolah Kristen di pulau Jawa. Kemudian ia menjadi ketua GKPB, Gereja Kristen Protestan Bali. Ia memulai proses transformasi budaya. Mendorong gereja-gereja Kristen di Bali lebih terbuka terhadap budaya Bali setelah Gereja Katolik di Bali melakukannya.

Sejarah gereja di Indonesia, khususnya Gereja Katolik, mengalami perubahan lain ketika pada tahun 1896 seorang pendeta Belanda bernama Frans van Lith datang ke Muntilan di Jawa Tengah. Apapun yang dia coba tidak berhasil dengan baik pada awalnya. Akhirnya pada tahun 1904, empat pemimpin kota Calibawang datang ke rumahnya dan meminta ajaran tentang agama yang dibawanya. Pada 15 Desember tahun yang sama 178 orang Jawa dibaptis di daerah Semagun. Selain itu, Van Lith mendirikan sekolah untuk guru di Muntilan. Sekolah itu disebut  Normaalschule pada 1900. Diubah namanya menjadi Kweekschule pada 1904. Pada tahun 1911, Van Lith mendirikan kembali Seminari Sekunder. Ia berhasil mencetak tokoh-tokoh penting dalam sejarah Katolik Indonesia, antara lain FX Satiman SJ, Albertus Soegijapranata SJ dan Adrianus Djajasepoetra SJ.

Gereja Kristen tidak berhenti menyebarkan ajarannya. Pada 1960-an, banyak orang Komunis dan Cina beralih ke agama Kristen karena bahasa anti-Komunis dan anti-Konfusianisme. Pada waktu itu, banyak sekolah Kristen didirikan untuk mengajar agama. Sejauh ini, gereja Kristen masih berusaha tumbuh kembang lebih cepat dari sebelumnya.

Uskup pertama di Gereja Katolik Indonesia adalah Albertus Soegijapranata SJ, yang diangkat pada tahun 1940. Delapan tahun kemudian, pada 20 Desember, dua pengikut bernama Sandjaja dan Hermanus Bouwens terbunuh di sebuah desa bernama Kembaran. Sandjaja akhirnya dianggap sebagai martir gereja Katolik di Indonesia. Beberapa pahlawan Indonesia yang terkenal juga adalah orang Katolik seperti Agustinus Adisoetjipto, Ignatius Slamet Riyadi dan Yos Soedarso. Fakta ini juga membuat sejarah Gereja di Indonesia, khususnya Gereja Katolik, tumbuh sangat cepat. Namun demikian, ada pemberontakan terhadap umat Katolik dan Kristen pada 1990-an dan awal 2000-an. Untunglah, Gus Dur Wahid, pemimpin Nahdatul Ulama, mampu menekan antipati yang ada di antara partai-partai dari agama yang berbeda.

Tumbuh Kembang Gereja Tradisional

Umat Kristiani dari Gereja Tradisional di Indonesia belum mengerti makna Amanat Agung. Itu terjadi karena gereja tidak mengajarkan sejarah gereja. Sejarah gereja Indonesia tidak bisa dilepas dari zaman penjajahan. Para penjajah seperti Portugis dan Belanda mencari keuntungannya di tanah air  sekaligus membawa Injil ke negara ini. Menaati Amanat Agung tidak menjadi target utama ‘Vereinigte Ostindische Compagnie’ (VOC). Mereka datang untuk berdagang dan menjadi kaya. Mereka tidak peduli dengan kesejahteraan penduduk jajahannya, yang disebut warga bumi putera, istilah kerennya pribumi.


Memang ada penginjilan terhadap orang pribumi dan kebaktian dalam bahasa Melayu, tetapi gereja dan kehidupan rohani dikuasai orang Belanda. Kebanyakan anggota gereja, secara khusus orang Indonesia asli, belum memahami makna Injil. Mereka menjadi orang Kristen oleh karena ingin untung atau menyenangkan hati atasan mereka. Sering orang Kristen pribumi hanya pasif di gereja (disebut aliran pasifisme) dan merasa puas, jika sudah dibaptis. Itu sebabnya kebanyakan jemaat lokal kurang mandiri dan terpelajar dalam hal agama.

Selain itu para hamba Tuhan yang hampir semua berasal dari Belanda kurang menguasai bahasa Melayu. Mereka kurang berkualitas dalam pemuridan, sehingga warga jemaat tidak diajar dengan baik. Agama Kristen menjadi “agama Belanda.” Itu sebabnya selama zaman VOC kira-kira 250 tahun sejarah gereja merupakan pra-sejarah gereja Indonesia. Gereja Pra-sejarah kita sebut gereja tradisional hasil sending dan penginjilan penjajah yang mendirikan gereja untuk setiap suku yang merupakan bagian dari strategi penguasaan dalam politik adu domba (devide et emperea, artinya dipecah belah supaya mudah dikuasai). Gereja mulai tumbuh kembang setelah kedatangan para perintis Gereja Pentakosta, pada abad ke-20 mulai bangkit dan menjadi mandiri.

Pada zaman Daendels (Belanda) dan Raffles (Inggris) awal abad ke-19, rakyat Indonesia bebas untuk memilih agama. Pada zaman ini badan misi dari Amerika dan terutama dari Eropa datang ke Indonesia untuk memberitakan Injil kepada orang pribumi. 

Dunia Barat pada waktu itu mengalami kebangunan-kebangunan rohani besar-besaran. Mereka dipenuhi Roh Kudus sehingga mengalami kerinduan untuk menanam gereja di antara orang yang masih belum terjangkau oleh Injil, termasuk suku-suku di Indonesia. Gereja yang didirikan oleh mereka tidak lagi gereja Belanda. Mereka melakukan penginjilan yang bersifat interdenominasi. Para misionaris ini sebagian diutus untuk menyelamatkan gereja VOC yang sudah berdiri di Indonesia. 

Contohnya Jozef Kam, rasul Ambon, menjadi pelopor dan tidak berhenti memperjuangkan tenaga baru bagi gereja yang sedang secara rohani mati dan hampir tenggelam. Sering guru-guru Injil menolong agar gereja tetap bisa hidup dan berdiri dengan mengumandangkan pengakuan Iman Rasuli. 

Sejak abad ke-7 agama Kristen menyebar di Nusantara, melalui Gereja Assiria (Gereja Timur). Penginjil dari salah satu Gereja Kekristenan tertua – yang berpusat di Parthia (Perbatasan Irak dan Iran di bagian timur) – membangun Gereja Pancur di Deli Serdang dan Barus, Tapanuli Tengah pada tahun 645.

Disusul misi Katolik Roma. Pertama tiba pada tahun 1511 di tanah Aceh, dari Ordo Karmel. Pada  1534 tiba di kepulauan Maluku bersama kapal-kapal Portugis yang memiliki misi penjelajahan samudera.

Sejarah panjang agama Kristen di Indonesia, mewarnai pula kehidupan bangsa Indonesia. Di antara penganut Kristen yang saleh itu, terdapat nama-nama yang membantu kemerdekaan Indonesia. Mereka para Tokoh Perjuangan dan Pahlawan Nasional seperti Robert Wolter Monginsidi, Sam Ratulangi, Agustinus Adisoetjipto, Yos Sudarso, dan masih banyak nama lagi.

Gereja Lokal bersejarah yang juga berarsitektur indah di berbagai kota di Indonesia, yang termasuk gereja tradisional adalah:

Gereja Katedral, Jakarta

Gereja Katedral Jakarta bernama resmi Gereja Santa Maria Pelindung Diangkat Ke Surga. Gedung gereja ini diresmikan pada 1901 dan dibangun dengan arsitektur neogotik dari Eropa. Pada tahun 1890, gereja ini pernah roboh dan dibangun kembali. Gereja yang sekarang ini dirancang dan dimulai oleh Pastor Antonius Dijkmans. Peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Pro-vikaris, Carolus Wenneker. Pekerjaan ini kemudian dilanjutkan oleh Cuypers-Hulswit ketika Dijkmans tidak bisa melanjutkannya. Diresmikan dan diberkati pada 21 April 1901 oleh Mgr. Edmundus Sybradus Luypen, S.J., Vikaris Apostolik Jakarta. 

Gereja Katedral Santo Petrus, Bandung

Dikenal juga dengan nama Gereja Katedral Bandung. Dirancang oleh Charles Proper Wolff Schoemaker dengan gaya arsitektur neogotik akhir. Dilihat dari atas, bentuknya menyerupai salib yang simetris. Katedral Santo Petrus mempunyai luas tanah sebesar 2.385 m2 dan luas bangunan sebesar 785 m2. Pada 16 Juni 1895, gereja ini dinamai St. Franciscus Regis. Namun seiring berkembangnya kota Bandung yang pada 1906 berstatus gemeente (setingkat kotamadya), Gereja St. Franciscus Regis dipugar sepanjang tahun 1921. Katedral ini lalu diberkati pada 19 Februari 1922 oleh Mgr. Edmundus Luypen, S.J.

Gereja Sion, Jakarta

Berlokasi di sudut Jalan Pangeran Jayakarta dan Mangga Dua Raya. Gereja Sion merupakan Gereja Portugis yang juga dikenal dengan nama Portugeesche Buitenkerk. Gereja dengan gaya arsitektur klasik yang megah ini selesai dibangun pada 1695 selama dua tahun. Gereja itu dibangun kembali oleh pemerintah Belanda. Peletakan batu pertama pembangunan Gereja Sion dilaksanakan pada 1693, oleh Pieter van Hoorn pada 19 Oktober 1693. Peresmian gereja ini dilakukan pada 23 Oktober 1695 oleh Pendeta Theodorus Zas. Kisah pemberkatan dan pembangunan ini masih tertulis rapi pada dinding gereja hingga saat ini dalam bahasa Belanda.

Sebagai gereja tertua di Jakarta yang masih berfungsi sebagai gereja hingga saat ini, Gereja Sion sempat dipugar pada 1920 dan 1978. 

Gereja Fidelis Sejiram, Seberuang, Kalimantan Barat

Misi gereja juga masuk hingga ke pedalaman Kalimantan. Salah satu gereja tertua di Indonesia, ini berada di desa kecil pinggiran Sungai Seberuang, tepatnya di Desa Sejiram di Kalimantan Barat. Dibangun pada 1892, menjadikan Gereja Fidelis Sejiram ini sebagai gereja tertua di Kalimantan Barat. Nilai sejarah dan kontribusi perkembangan gereja ini membuatnya menjadi bangunan sejarah yang dilindungi pemerintah. Berawal dari diutusnya Pastur Looymans untuk menyebarkan ajaran Katolik bagi masyarakat Dayak. Saat itu dimulailah penyebaran ajaran Katolik di Kalimantan. Awalnya pada 1982, dibantu masyarakat Dayak lokal, Pastur Looymans membangun pondok sebelum berkembang menjadi sebuah gereja, sekolah, dan juga asrama untuk para siswa. Dalam menjalankan misi ini, Pastur Looymans dibantu Pastur Mulder. Salah satu ciri khas dari gereja ini adalah patung ayam yang bertengger pada bagian atas yang dipasang semasa pemerintahan kolonial Belanda.

Gereja Santa Maria de Fatima, Jakarta

Gereja Santa Maria de Fatima, Jakarta, berlokasi di kawasan pecinan Glodok, Jakarta Barat. Gereja ini unik. Arsitekturnya mirip dengan kuil ataupun klenteng. Gereja ini dibangun oleh seorang kapitan keturunan Tionghoa bermarga Tjioe pada 1954. Tjioe mengadopsi gaya arsitektur khas Tionghoa yang menyerupai kelenteng. Karena nilai sejarah dan juga arsitekturnya, bangunan gereja Santa Maria de Fatima ini ditetapkan pemerintah sebagai cagar budaya.

Gereja Blenduk, Semarang

Gereja Blenduk disebut pula GPIB Immanuel. Gereja itu dibangun warga Belanda yang tinggal di Semarang pada 1753. Nama Blenduk merupakan pemberian nama dari warga Semarang.  Nama blenduk merujuk kubah gereja, yang berbentuk setengah lingkaran. Kubah Gereja Blenduk besar berlapis perunggu. Di dalamnya terdapat sebuah orgel Barok. Gereja ini sempat direnovasi pada 1894 oleh W. Westmaas dan H.P.A. de Wilde. Mereka menambahkan kedua menara di depan gedung gereja ini. Hingga saat ini gereja Blenduk masih beroperasi sebagai gereja.

Candi Hati Kudus Yesus, Yogyakarta

Boleh dikata gereja bernama Candi Hati Kudus Yesus. Ini merupakan simbol akulturasi kebudayaan Jawa Hindu dan ajaran Kristen. Sekilas, gereja ini mirip dengan candi-candi Hindu. Penggambaran Yesus di gereja ini, dekat dengan penggambaran keanggunan raja Jawa. Gereja dengan arsitektur yang indah ini, didirikan pada 1930 oleh keluarga Schutzer, keluarga Belanda yang tinggal di Yogyakarta.

Gereja Ayam, Jakarta

Gereja ayam adalah salah satu gereja tua ikonik di Jakarta. Disebut Gereja Ayam disebabkan penunjuk arah mata angin yang berada di atap gereja berbentuk ayam. Gereja Ayam dibangun antara 1913 – 1915 oleh Ed Cuypers dan Hulswit di daerah Pasar Baru, Jakarta Pusat. Keduanya, membangun Gereja Ayam dengan perpaduan arsitektur Italia dan Portugis.

Gereja Immanuel, Jakarta

Gereja tertua di Indonesia lainnya adalah Gereja Immanuel, yang berlokasi di seberang Stasiun Gambir. Gereja Immanuel dibangun selama empat tahun dimulai sejak 1845. Gereja umat Protestan itu memiliki arsitektur yang indah. Dengan kubah raksasa, gedung ini diperkokoh dengan pilar-pilar raksasa yang megah.

Katedral Bogor, Bogor, Jawa Barat

Cikal bakal Gereja Katedral Bogor atau Gereja Katedral Santa Perawan Maria, dimulai pada 1881, saat  Mgr. AC. Claessens membeli sebuah rumah dengan pekarangan yang cukup luas. Sekarang meliputi kompleks Gereja, Pastoran, Seminari, Sekolah, dan Bruderan Budi Mulia. Semula tempat itu digunakan sebagai tempat peristirahatan dan Misa Kudus para tamu dari Jakarta. Pada tahun 1886 MYD. Claessen memulai karya pastoralnya untuk mendirikan Panti Asuhan untuk anak-anak. Saat itu bangunan rumah Panti Asuhan tersebut baru bisa menampung 6 orang anak. Usaha pastoral itu kemudian berkembang menjadi Yayasan Vincentius pada tahun 1887. Pada tahun 1888 mendapat pengakuan dari Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1889 Pemerintah Hindia Belanda secara resmi mengakui dan menyatakan bahwa Bogor menjadi Stasi misi tetap Batavia. Tahun 1896 (setahun setelah Mgr. AC. Claessen meninggal), MYD. Claessens mulai membangun sebuah gedung Gereja yang megah di atas tanah yang didiaminya. Gereja itu yang hingga sekarang kita kenal dengan Gereja Katedral.

Gereja Merah, Kediri

Bergaya arsitektur Gotik. GPIB Imannuel ini didirikan pada 1904 dengan warna putih gading sebelum dicat menjadi merah pada 2005. Seketika gereja ini jadi lebih dikenal karena warnanya yang merah sebagai Gereja Merah. Gereja di kota Kediri ini juga masih menyimpan Injil berbahasa Belanda yang dibuat pada 1867.

Gereja Kepanjen, Surabaya

Gereja tertua selanjutnya berada di Kota Pahlawan Surabaya. Gereja yang didirikan pada 1815 ini memiliki nama Gereja Katolik Kelahiran Santa Perawan Maria. Dikenal juga dengan nama Gereja Kepanjen. Eksterior Gereja Kepanjen bergaya gotik dengan interior berupa dinding bata merah yang terekspos. Gereja ini kian indah dengan hiasan kaca patri yang berada di dalam gereja

G3: Gold, Glory, Dan Gospel

Pencarian rempah-rempah beriringan jalan dengan keinginan menyebarkan agama Kristen.

APRIL 1511. Setelah membaca surat dari Rui de Araujo, satu dari 19 orang Portugis yang ditahan di Malaka, Alfonso de Albuquerque, gubernur Portugis kedua di India, mengumpulkan pasukan dalam jumlah besar dan berlayar dengan belasan kapal menuju Malaka. Dalam waktu singkat, dia berhasil menaklukkan Malaka, pelabuhan perdagangan penting kala itu.

Dari Malaka, Albuquerque mengirim ekspedisi ke kepulauan rempah-rempah. Mereka tiba di Banda, menuju Maluku, dan akhirnya Ternate. Di Ternate, Portugis mendapat izin membangun benteng. Di Maluku, Portugis memantapkan kedudukan sekaligus menyebarkan agama Katolik. Sekelompok pendeta Katolik yang datang bersama Antonio Galvao, kemudian jadi pemimpin Portugis di Maluku, memulai kerja misionaris mereka.

Setelah menguasai Malaka, Portugis bisa memonopoli perdagangan dan menyebarkan agama Katolik secara lebih teratur di wilayah timur: Ambon dan Halmahera, Ternate dan Tidore. Salah satu zandeling Katolik di kawasan itu adalah Franciscus Xaverius dari Ordo Yesuit, pastor dari Spanyol yang datang dengan kapal dagang Portugis –kelak dianggap sebagai pelopor penyebaran Katolik di Indonesia.

Monopoli menimbulkan perlawanan dari kerajaan-kerajaan lokal, terutama Aceh, yang membuat misi tak bisa menyebar ke wilayah barat. Misi itu menciptakan rintangan bagi dirinya sendiri.  Ketika hegemoni Portugis dan Spanyol di kawasan itu berakhir, awal abad ke-17, gereja Katolik pun kehilangan pelindung dan wilayah.

Kedatangan Portugis ke wilayah Timur tak lepas dari mandat Paus Alexander VI yang melalui Perjanjian Tordesillas membagi belahan dunia di luar daratan Eropa. Sisi lainnya, Barat, diserahkan kepada Spanyol. Kedua negara ini bertemu di Maluku dan menyelesaikan persoalan lewat Perjanjian Saragossa sehingga masing-masing bisa tetap meraup rempah-rempah.

Portugis semula merahasiakannya. Tetapi jalan menuju kepulauan rempah-rempah akhirnya tersingkap berkat buku Itinerario karya Jan Huygen van Linshoten, seorang pengelana dan pedagang Belanda, pada 1595. Sebuah perusahaan Belanda, Compagnie van Verre, membiayai ekspedisi ke Nusantara yang dipimpin Cornelis de Houtman. Pada 1596, mereka mendarat di Pelabuhan Banten. Kunjungan pertama tak berhasil. Dikirimlah lagi ekspedisi dagang yang dipimpin Jacob van Neck, van Heemskerck, dan van Waerwijck. Kali ini mereka mendapat simpati penguasa Banten. Mereka kembali ke negerinya dengan muatan penuh, sementara kapal lainnya meneruskan perjalanannya ke Maluku. Setelah terbentuk Kongsi Dagang Belanda (VOC), mereka menancapkan monopoli dagang, bahkan kekuasaan, di Nusantara.

VOC mendukung Protestan dan mengambil-alih jemaah Katolik di kawasan timur Indonesia. Hanya di Flores Katolik terus berkembang. Protestan sendiri, yang menjadi anak emas selama masa VOC, mengalami masa subur.

Kedatangan Portugis dan Belanda ke Nusantara bukan semata terdorong pencarian rempah-rempah tapi juga kejayaan dan keinginan menyebarkan agama Kristen –dikenal dengan gold, glory, gospel.

Anggapan bahwa Kristen tiba bersama kedatangan orang-orang Eropa ke Nusantara tiba-tiba mendapat sanggahan baru. Pada 1969, J. Bakker SJ menulis di majalah Basis bahwa agama Katolik sudah ada pada abad ke-7 M dan berakar di Sumatra Utara lalu menyebar ke daerah lain, termasuk Jawa. Dengan menggunakan sumber-sumber Islam, dia meyakini pula bahwa Katolik datang dari India Selatan.

Bermula dari Rasul Thomas yang mewartakan Injil hingga ke India Selatan. Katolik berkembang di India Selatan dan lewat perdagangan menyebar ke Sumatra Utara. Gereja Kristen Katolik mulai ditanam di daerah Tapanuli sebelum tahun 600 oleh saudagar dari India yang menamakan diri Thomas Christians.

Jan Baker mendasarkan teorinya pada tulisan ilmuwan Islam bernama Shaykh Abu Salih al-Armini, yang menulis semacam buku ensiklopedi berjudul Tadhakkur fiha Akhbar min al-Kana’is wa’l-Adyar min Nawahin Misri w’al Iqtha’aihu Buku ini berisi daftar gereja dan pertapaan di Mesir dan wilayah Timur lainnya. Dalam bukunya, Abu Salih menyebut di Fansur, tempat asal kamper, terdapat sekelompok Kristen Nestorian dan sebuah gereja yang dipersembahkan kepada Maria.

Di antara sumber-sumbernya, Abu Salih menggunakan Kitab Nazm al-Jawhar karya Sa’id bin al Batriq yang berasal dari tahun 910 dan mengisahkan sejumlah peristiwa dari abad ke-7. Menurut Bakker, ‘Fansur’ itu sama dengan ‘Pansur’, dekat Baros di Tapanuli. Dia juga menulis penyebutan Kristen Nestorian dari Abu Salih keliru dan “meluruskannya” sebagai Katolik.

AJ Butler MA FSA saat memberikan catatan terhadap terjemahan BTA Evetts atas karya Abu Salih ke dalam bahasa Inggris, berjudul The Churches and Monasteries of Egypt Attributed to Abu Sahlih, The Armenian, menjelaskan bahwa kata Fahsur memang tertulis dalam manuskrip aslinya. Namun, kata ini seharusnya ditulis Mansur, sebuah negara di zaman kuno yang terdapat di barat laut India, terletak di sekitar Sungai Indus. Mansur merupakan negara utama yang terkenal di antara orang-orang Arab dalam hal komoditas kamper.

Adolf Heuken SJ dalam tulisan “Christianity in Pre-Colonial Indonesia” juga mendukung pendapat Butler. “Kecuali catatan singkat yang diberikan Abu Salih, tak ada informasi lebih lanjut tentang Kristen di Fansur/Barus,” tulis Heuken, termuat di A History of Christianity in Indonesia karya Jan Sihar Aritonang dan Karel A. Steenbrink.

Di luar perdebatan itu, Barus sendiri merupakan tempat yang menarik untuk diteliti. Ia dianggap salah satu kota kuno yang terkenal di Asia sejak sekitar abad ke-6. Pada 1995, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bekerjasama dengan Ecole francaise d’Extreme-Orient melakukan penelitian arkeologi untuk menggali situs Lobu Tua di Barus. Hasilnya, “pada zaman Lobu Tua, Barus muncul sebagai sebuah tempat perdagangan asing yang mungkin didirikan pada pertengahan abad ke-9 M oleh pedagang dari India Selatan atau Sri Lanka. Dalam waktu singkat, mereka didatangi pedagang-pedagang dari Timur Tengah, yang juga mencari kamper,” tulis Claude Guillot dkk. dalam Barus: Seribu Tahun yang Lalu, yang merupakan hasil penelitian itu.

Terkait kemungkinan adanya sekelompok masyarakat Nestorian di Barus, Claude Guillot dkk menyebutkan perlu bukti arkeologis setelah situs Barus yang mendahului Lobu Tua berhasil ditemukan. “Jika ternyata benar, maka didapatkan bukti bahwa satu jaringan yang sebagian beragama Nestorian menghubungkan Baru dengan Teluk Persia lewat Sri Lanka dan pantai Malabar, khususnya Quilon.”

Sekalipun VOC bangkrut, dan kerajaan Belanda menerapkan pemisahan antara gereja dan negara, pemerintah Hindia Belanda tetap memberikan peran besar dalam perkembangan Protestan. Atas inisiatif pemerintah kolonial, orang-orang Protestan digabung dalam satu organisasi Gereja Protestan di Hindia Belanda. Pemerintah mensubsidi gereja dan menggaji para pendeta. Demi kepentingan politik, pemerintah mengizinkan penginjilan ke daerah-daerah.

Pada 1800 rohaniawan Katolik Roma datang kembali secara resmi ke Jawa. Delapan tahun kemudian, rohaniawan Katolik dari Negeri Belanda juga datang. Adanya “zending ganda” sempat menjadi sumber konflik di Majelis Rendah Belanda sehingga ditetapkan pembagian wilayah kerja. “Sesudah secara definitif peraturan tentang izin masuk para misionaris ke Hindia Belanda ditetapkan, maka dengan berangsur-angsur misi pun dapat dikembangkan lagi. Sejak tahun 1859 kaum Yesuit dari Negeri Belanda dilibatkan dalam kegiatan itu,” tulis Jan Bank.

Kesempatan ini tak disia-siakan berbagai badan zending, baik Protestan maupun Katolik. Menurut Th van den End dan Aritonang dalam “1800-2005: a National Overview”, antara tahun 1800-1900 ada sekira 15 badan zending yang bekerja di Hindia Belanda. Mereka mendirikan sekolah-sekolah dan rumah sakit sebagai sarana penginjilan. Mereka juga menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Melayu dan bahasa daerah.

Sejak kedatangannya, teologi yang berkembang di Nusantara masih didominasi teologi Barat. Pada abad ke-19 mulailah muncul para pemikir teologi, yang disebut prototeolog. Prototeolog  menggabungkan kekristenan dengan budaya lokal seperti Paulus Tosari dan Sadrach. Kemudian makin menguat setelah berdirinya seminari dan sekolah tinggi teologi.

Pada abad ke-20, para penginjil Katolik dan Protestan mulai mengubah paradigma mengenai adat dan kepercayaan lokal agar penginjilan lebih bisa diterima masyarakat.

Tumbuh Kembang Gereja Abad 20

Gereja Tradisional

Pada tanggal 6-13 November 1949 diadakan: ‘Konferensi Persiapan Dewan Gereja-gereja di Indonesia.” Sebelum Perang Dunia II telah diupayakan mendirikan suatu Dewan yang membawahi pekerjaan Zending. Namun karena pecahnya PD II maksud tersebut diundur. Setelah PD II berdirilah tiga buah Dewan Daerah. Dewan Permusyawaratan Gereja-gereja di Indonesia, berpusat di Yogyakarta (Mei 1946). Majelis Usaha bersama Gereja-gereja di indonesia bagian Timur  berpusat di Makasar (9 Maret 1947). Majelis Gereja-gereja bagian Sumatera (awal tahun 1949), di Medan.

Ketiga dewan daerah ini didirikan dengan maksud membentuk satu Dewan Gereja-gereja di Indonesia, yang melingkupi ketiga dewan tersebut. Pada tanggal 21-28 Mei 1950 diadakan Konferensi Pembentukan Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), bertempat di Sekolah Theologia Tinggi (sekarang Sekolah Tinggi Teologi dan Filsafat Jakarta). Hadir dalam konferensi tersebut:

  1. HKBP, Huria Kristen Batak Protestan
  2. GBKP, Gereja Batak Karo Protestan
  3. Gereja Methodist Sumatera
  4. BNKP, Banua Niha Keriso Protestan
  5. Gereja Kalimantan Evengelis
  6. GPIB, Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat
  7. Gereformeerde Kerken in Indonesia
  8. GKP, Gereja Kristen Pasundan
  9. Gereja Kristen Sekitar Muria
  10. Gereja Kristen Jawa Tengah
  11. Gereja Kristen Djawi Wetan
  12. Tionghoa Kie Tok Kauw Hwee/Khoe hwee Jawa Barat
  13. Tionghoa Kie Tok Kauw Hwee/Khoe hwee Jawa Tengah
  14. Tionghoa Kie Tok Kauw Hwee/Khoe hwee Jawa Timur
  15. Tionghoa Kie Tok Kauw Hwee/Khoe hwee Jakarta
  16. Gereja Kristen Protestan di Bali
  17. Gereja Kristen Sumba
  18. Gereja Masehi Injili Timur
  19. Gereja Masehi Injili Sangihe & Talaud
  20. Gereja Masehi Injili Minahasa
  21. Gereja Masehi Injili Bolaang Mongondow
  22. GKST, Gereja Kristen Sulawesi Tengah
  23. GKTR, Gereja Kristen Toraja Rantepao
  24. GKTM, Gereja Kristen Toraja Makale
  25. GKST,
  26. GKSS, Gereja Kristen Sulawesi Selatan Makassar
  27. GMIH, Gereja Masehi Injili Halmahera
  28. Gereja Protestan Maluku
  29. Gereja Masehi Injili Irian
  30. Gereja Protestan di Indonesia

Salah satu agenda dalam konferensi tersebut adalah pembahasan tentang Anggaran Dasar DGI. Pada tanggal 25 Mei 1950, Anggaran Dasar DGI disetujui oleh peserta konferensi dan tanggal tersebut ditetapkan sebagai tanggal berdirinya Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) dalam sebuah “Manifes Pembentoekan DGI”:

“Kami anggota-anggota Konferensi Pembentoekan Dewan Geredja-geredja di Indonesia, mengoemoemkan dengan ini, bahwa sekarang Dewan geredja-geredja di Indonesia telah diperdirikan, sebagai tempat permoesjawaratan dan oesaha bersama dari Geredja-geredja di Indonesia, seperti termaktoeb dalam Anggaran Dasar Dewan geredja-geredja di Indonesia, yang soedah ditetapkan oleh Sidang pada tanggal 25 Mei 1950. Kami pertjaja, bahwa dewan Geredja-geredja di Indonesia adalah karoenia Allah bagi kami di Indonesia sebagai soeatoe tanda keesaan Kristen jang benar menoedjoe pada pembentoekan satoe Geredja di Indonesia menoeroet amanat Jesoes Kristoes, Toehan dan Kepala Geredja, kepada oematNja, oentoek kemoeliaan nama Toehan dalam doenia ini”.

Demikianlah DGI telah menjadi wadah berhimpun Gereja-gereja di Indonesia. Anggotanya pun semakin bertambah dari waktu ke waktu. Dengan makin berkembangnya jumlah anggota, maka makin menunjukkan semangat kebersamaan untuk menyatu dalam gerakan oikoumene di Indonesia. Dalam wadah PGI, gereja-gereja di Indonesia yang memiliki keragaman latar belakang teologis, denominasi, suku, ras, tradisi budaya dan tradisi gerejawi, tidak lagi dilihat dalam kerangka perbedaan yang memisahkan, melainkan diterima sebagai harta yang berharga dalam memperkaya kehidupan gereja-gereja sebagai Tubuh Kristus.

Seiring dengan perkembangan dan semangat kebersamaan itu pulalah yang turut mendasari perubahan nama “Dewan Gereja-gereja di Indonesia” menjadi “Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia.” Perubahan ini diputuskan pada Sidang Raya X di Ambon tahun 1984. Perubahan nama itu terjadi atas pertimbangan: “bahwa persekutuan lebih bersifat gerejawi dibanding dengan perkataan dewan, sebab dewan lebih mengesankan kepelbagaian dalam kebersamaan antara gereja-gereja anggota, sedangkan persekutuan lebih menunjukkan keterikatan lahir-batin antara gereja-gereja dalam proses menuju keesaan”.

Pergantian nama itu mengandung perubahan makna. Persekutuan merupakan istilah Alkitab yang menyentuh segi eksistensial, internal dan spiritual dari kebersamaan umat Kristiani yang satu. Sesuai dengan pengakuan PGI bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat dunia serta Kepala Gereja, sumber Kebenaran dan Hidup, yang menghimpun dan menumbuhkan gereja sesuai dengan Firman Allah, maka sejak berdirinya PGI, gereja-gereja berkomitmen untuk menyatakan satu gereja yang esa di Indonesia.

Keesaan itu ditunjukkan melalui kebersamaan dalam kesaksian dan pelayanan, persekutuan, saling menolong dan membantu. PGI tidaklah bermaksud untuk menyeragamkan gereja-gereja di Indonesia. PGI juga bukanlah hendak menjadi suatu super church yang mendominasi gereja-gereja anggota. Keesaan yang dimaksud adalah keesaan dalam tindakan. Keesaan yang makin lama makin bertumbuh dan berkembang ketika melakukan kegiatan-kegiatan bersama dalam visi dan misi bersama.

Sampai pada tahun 2009, PGI telah menghimpun 88 gereja anggota dan lebih dari 15 juta anggota jemaat yang tersebar dari Merauke sampai Sabang dan dari Rote sampai Talaud. Keanggotaan PGI mewakili 80 persen umat Kristen di Indonesia. Dengan lambang “oikoumene” gereja-gereja anggota PGI optimistis berkarya dan melayani di Indonesia dan dunia.

PGI merekatkan hubungan di antara gereja-gereja anggotanya. PGI juga terpanggil untuk bekerjasama dan membangun kemitraan dengan gereja-gereja dan lembaga oikoumene lainnya, dan antaragama, baik tingkat nasional maupun internasional. Hubungan kemitraan ini dimaksudkan untuk menciptakan kerukunan umat beragama serta kesejahteraan manusia di Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya.

Gereja Pentakosta

William Henry Offiler lahir pada tahun 1875 di Nottingham, Inggris. Beliau adalah pendiri gereja Bethel Temple, Seattle, Amerika Serikat,  yang sekarang dikenal dengan nama Bethel Christian Ministries. Pelayanan ini dimulai dari Pine Street Pentecostal Mission yang terletak di pusat kota Seattle antara Second dan Pine pada sekitar tahun 1910 an. Disinilah tempat cikal bakal missi Pentakosta ke Indonesia.


W.H. Offiler dibaptis ketika berusia 16 tahun dan menempuh pendidikan di sebuah missi di Sudan, Afrika Tengah. Di awal tahun 1890 ia pindah ke Canada, setelah itu ke Amerika, dan pada tanggal 10 Agustus 1899 tiba di Spokane, Washington.


Tanggal 16 Nopember 1900 Rev.Offiler menikah dengan Gertrude Riley. Mereka dikaruniai 3 orang anak yaitu Willem, Harriet, dan Edith. Pada tahun 1914, Rev.Offiler pindah ke Glacier National Park, Montana. Disini ia bekerja sebagai pengawas pada perusahaan pemasang pipa pemanas. Panggilan Tuhan datang melalui penglihatan pada W.H.Offiler dan istrinya. Mereka menyerahkan hidup sepenuhnya untuk melayani Tuhan. W.H.Offiler sekeluarga berangkat menuju Seattle.


Di Pine Street Mission, Rev.Offiler kemudian diangkat menjadi gembala. Tahun 1919 dibangunlah sebuah gedung baru di Seventh Avenue dan Oliver Street. Di tempat inilah diadakan ibadah yang kemudian melahirkan missionaris-missionaris yang dikirim ke luar negeri. Mereka antara lain Richard Dick Van Klaverans dan Cornelius E. Groesbeek yang membawa api pentakosta ke Indonesia.


Kemudian pada awal musim semi tahun 1920 dimulailah pembangunan sebuah gedung gereja yang lebih luas lagi di Third Avenue dan Bell Street.


Setelah 23 tahun mereka menempati gedung gereja tersebut, kemudian Tuhan memberi sebuah tempat di Crystal Pool, sebuah gedung di sudut Second Avenue dan Lenora Street. Gedung yang megah, besar dan sudah lama kosong ini diubah menjadi gedung gereja Bethel Temple yang ditempati sejak tahun 1944.


Rev.W.H.Offiler menggembalakan jemaat ini selama 34 tahun. Beliau digantikan oleh Rev.William West Patterson. Rev.W.H.Offiler kemudian berdiam di Bethel Evangeli Park, Mirror Lake, Federal Way, Washington dan meninggal pada 29 September 1957.


Pada tanggal 4 Januari 1921, Richard Dick Van Klaverans dan Cornelius Groesbeek beserta keluarga berangkat dari Seattle ke Indonesia. Mereka naik kapal laut Suamaru ke Yokohama, Osaka, singgah di China, lalu ke Pulau Jawa. Tanggal 23 Pebruari 1921, mereka tiba di Batavia (Jakarta). Dari Jakarta melalui Mojokerto, Surabaya, Banyuwangi dengan menumpang kapal Varkenboot mereka tiba di Singaraja, Bali pada bulan Maret 1921. Pemerintah Belanda melarang hamba Tuhan ini menetap dan menginjil di Bali dengan alasan takut merusak kebudayaan asli penduduk Bali. Oleh sebab itulah menjelang Natal tahun 1922, kedua keluarga ini berangkat ke Surabaya. Keluarga van Klaverans menuju ke Batavia.


Di Surabaya, Rev.Cornelius E.Groesbeek berkenalan dengan Ny.Wijnen yang mempunyai seorang keponakan yang bekerja di BPM Cepu (Shell), yaitu F.G.Van Gessel. Bulan Januari 1923 dimulailah kebaktian Pentakosta yang pertama di Deterdink Boulevard, Cepu. Pada 30 Maret 1923 diadakan baptisan air pertama di Pasar Sore Cepu bagi 13 orang. Baptisan ini dilakukan oleh Rev. Cornelius E.Groesbeek dan dibantu oleh Rev. Johan Thiessen, seorang missionari dari Belanda. Nama-nama yang dibaptis adalah Jan Jeckel, Ny Jeckel, F. G van Gesel, Ny van Gesel, Ch C De Vriew, Frits Salem Lumoindong, Tn Win Vincentie, Ny Vincentie, Agust Kops, Corie Eiderbrink, Anton Leterman, Sambow Ignatius Paulus Lumoindong, Ny SIP Lumoindong Vincentie.


Antara tahun 1923-1928 jemaat di Cepu menghasilkan tidak kurang dari 16 hamba Tuhan yang menjadi pioner-pioner Gereja Pentakosta di Indonesia. Mereka menyebar ke Sumatra, Jawa, Sulawesi dan Maluku. Pada tanggal 19 Maret 1923 berdirilah Vereeniging De Pinkstergemeente in Nederlandsch Oost Indie yang berkedudukan di Bandung dengan Ketua: Pdt. D.H.W.Weenink Van Loon.


Pada tanggal 30 Maret 1923, badan tersebut mendapat SK Gubernur Hindia Belanda dengan Badan Hukum No. 2924, tertanggal 4 Juni 1924 di Cipanas, Jawa Barat. Diakui sebagai Kerkgenootscap (Badan Gereja) dengan Beslit No. 33, Staatblad No. 368. Perkembangan selanjutnya, gerakan ini dengan cepat menyebar dari Surabaya ke seluruh Jawa, Sumatera Utara, Minahasa, Maluku, Kalimantan dan Irian.


Tahun 1931, Zs.M.A.Alt keluar dari ‘Pinkster Gemeente’ dan mendirikan Pinkster Zending. Tahun 1932, Pdt. Johan Thiesen keluar dari ‘Pinkster Gemeente’ dan mendirikan Pinkster Beweging yang kemudian dikenal dengan nama Gereja Gerakan Pentakosta. Pada tahun 1934, istri dari Rev.Groesbeek meninggal dunia, dikuburkan di Surabaya.

Perkembangan jemaat di berbagai tempat menuntut tenaga- tenaga terlatih yang sanggup memenuhi tantangan zaman. Tahun 1935 lahirlah inisiatif untuk mengadakan Lembaga Pendidikan Alkitab. Sekolah Alkitab pertama gereja Pentakosta dibuka oleh penginjil William West Patterson di Surabaya, Jawa Timur. Januari 1935 yang diberi nama Nederlandsche Indie Bybel Institut (NIBI) bertempat di JI. Embong Malang 63. Dibantu oleh Pdt. F.G.Van Gessel, Rev. Johnson, Pdt.H.N Runkat, Pdt.W.Mamahit. Pecahnya Perang Dunia II, Rev.W.W.Patterson harus kembali ke Amerika dan Nederlandsche Indie Bybel Institut ditutup.


Perkembangan ajaran Pentakosta berkembang begitu pesatnya. Pemerintah Hindia Belanda akhirnya harus memberi pengakuan kepada gerakan Pentakosta ini. Dalam Beslit Gubernur Jenderal nomor 29 tanggal 24 Juni 1937 menjadi \”De Pinkstergemeente in Nederlandsch Oost Indie\”. Kemudian dengan Beslit nomor 33 pada tanggal 4 Juni 1937 diumumkan dalam Staatblad nomor 368 diakui sebagai \”Kerkgenootschap\” (Badan Gereja) dengan nama \”De Pinksterkerk in Nederlandsch Oost Indie\”. Dengan pecahnya Perang Dunia II dan beralihnya kepengurusan gereja ke tangan putra-putra Indonesia, maka pada tahun 1942 nama gereja pun mulai disebut menjadi \”Gereja Pentakosta di Indonesia\”.


Di kota minyak Cepu pada tahun 1923 F.G Van Gessel pegawai BPM bertobat dan dipenuhi Roh Kudus. Kemudian disusul banyak putera – puteri Indonesia yang kemudian menjadi pionir-pionir pergerakan Pentakosta di seluruh Indonesia.


Karena kemajuan yang pesat, maka pada tanggal 4 Juni 1924 Pemerintah Hindia Belanda mengakui eksistensi “De Pinkster Gemeente in Nederlansch Indie” sebagai sebuah “Vereeniging” (perkumpulan) yang sah. Oleh kuasa Roh Kudus serta semangat pelayanan yang tinggi, maka jemaat-jemaat baru mulai bertumbuh dimana-mana. Tanggal 4 Juni 1937, pemerintah meningkatkan pengakuannya kepada pergerakan Pentakosta menjadi “Kerkgenootschap” (persekutuan gereja) berdasarkan Staatblad 1927 nomor 156 dan 523, dengan Beslit Pemerintah No.33 tanggal 4 Juni 1937 Staadblad nomor 768 nama “pinkster Gemente” berubah menjadi “Pinksterkerk in Nederlansch Indie”. Pada zaman pendudukan Jepang tahun 1942, nama Belanda itu diubah menjadi “Gereja Pentakosta di Indonesia”. Ketika itu Ketua Badan Pengoeroes Oemoem  Majelis Pusat) adalah Pdt. H.N Runkat.


Selain perkembangan perlu juga dicatat beberapa perpecahan yang kemudian melahirkan gereja-gereja baru dimana para pendirinya berasal dari orang-orang GPdI.

  • Pdt. Ho Liong Seng (DR.H.L Senduk) pendiri gereja GBI.
  • Pdt. Van Gessel pada tahun 1950 berpisah dengan GPdI dan mendirikan GBIS.
  • Pdt. Ishak Lew pada tahun 1959 keluar dan mendirikan GPPS.
  • 1936 Missionaris R.M. Devin dan R. Busby keluar dan membentuk Assemblies of God.
  • 1946 Pdt. Tan Hok Tjoan berpisah dan membentuk Gereja Isa Almasih dan lain-lain sebagainya.

Peranan para pioner pun patut dikenang. Perjuangan mereka pohon GPdI telah bertumbuh dengan lebat. Mereka antara lain :

  • Pdt. H.N. Runkat yang merambah ladang di Pulau Jawa, (Jakarta, Jabar, Jateng, dll).
  • Tahun 1929 Pdt. Yulianus Repi dan Pdt. A. Tambuwun disusul oleh Pdt. A. Yokom, Pdt. Lumenta, Pdt. Runtuwailan menggempur Sulawesi Utara.
  • Tahun 1939, dari Sulut / Ternante Pdt. E. Lesnussa ke Makasar dan sekitarnya.
  • Tahun 1926 Pdt. Nanlohy menjangkau kepulauan Maluku (Amahasa) yang kemudian disusul oleh Pdt. Yoop Siloey, dll.
  • Tahun 1928 Pdt. S.I.P Lumoindong ke D.I Yogyakarta.
  • Tahun 1933 Pdt. A.E. Siwi menabur ke pulau Sumatera (Sumsel, Lampung, Sumbar dan kemudian tahun 1939 ke Sumut).
  • Tahun 1932 Pdt. RM Soeprapto mulai membantu pelayanan di Blitar kemudian Singosari dsk. Tahun 1937 ke Sitiarjo Malang Selatan.
  • Tahun 1935 Pdt. Siloey dkk, merintis pelayanan ke Kupang NTT.
  • Tahun 1930 Pdt. De Boer disusul Pdt. E. Pattyradjawane dan A.F Wessel ke Kalimantan Timur.
  • Tahun 1940 Pdt. JMP Batubara menebas ladang Kalimantan Barat (Pontianak)
  • Pdt. Yonathan Itar pelopor Injil Pentakosta di Irian Jaya, dan lain-lain.

Oleh pengorbanan mereka GPdI bertumbuh dengan pesat.


Tumbuh Kembang Gereja Abad 21

Pada abad keduapuluh satu ini, gerakan Kharismatik telah menjadi donominasi terbesar ketiga di dalam dunia kekristenan. Penyebarannya juga semakin hari semakin nyata di banyak Negara, sebagaimana juga terjadi di Negara Indonesia. Gerakan Kharismatik masuk ke Indonesia sekitar tahun 1960-an. Menimbulkan pengaruh yang sangat besar bagi kekristenan di Indonesia.

Gerakan Kharismatik pada awalnya mendapat celaan dan serangan dari denominasi gereja yang lebih dulu eksis di Indonesia. Gereja yang mencela kita sebut gereja tradisional (gereja tradisional menyelenggarakan ibadah didasarkan tradisi, tidak inovatif, kurang kreatif). Celaan itu akhirnya berangsur-angsur menghilang, setidaknya berkurang.

Pengaruh yang diakibatkan penyebaran gerakan Kharismatik ini sangat nyata terlihat di dalam dunia kekristenan di Indonesia. Berpengaruh dari segi semangat kerohanian, tata cara berjemaat dan juga peran wanita dan pria di dalam kebaktian, serta sifat serakah (mammonisme). Semua hal ini dapat dikatakan dipengaruhi oleh gerakan Kharismatik.

Pada tahun 1995, dari 1,9 milyar “orang Kristen,” 460 juta diantaranya (24%) dapat dianggap beraliran Pentakosta atau Kharismatik. Statistik ini menunjukkan betapa hebatnya gerakan Kharismatik berkembang di seluruh dunia dan juga secara khusus di Indonesia. Oleh karena itu, setiap orang percaya harus memberikan perhatian yang serius terhadap gerakan Kharismatik ini. Perlu dikaji untuk mengetahui seberapa besar ia telah mempengaruhi kekristenan, apakah berdampak positip atau bahkan negatip.

Gerakan Kharismatik (sering juga disebut sebagai pembaharuan Kharismatik; Charismatic Renewal) dikenal juga dengan nama gerakan Pentakosta baru (Neo-pentakostal). Seringkali gerakan ini diidentikkan dengan gereja-gereja pentakosta.  Kata “Kharismatik” berasal dari bahasa Yunani χάρις (charis) yang berarti kasih karunia, pemberian, hadiah, tindakan khusus.  Dalam prakteknya, gerakan Kharismatik selalu menonjolkan praktek-praktek karunia Roh, misalnya: bahasa lidah, bernubuat, atau melakukan mujizat. Gerakan Kharismatik mengklaim dirinya sebagai gerakan pembaharu kekristenan yang menghidupkan kembali jabatan rasul dan nabi. Dengan demikian, gerakan Kharismatik masih percaya pewahyuan (wahyu yang bersifat perkataan, sering disebut rhema). Di sisi lain mengakui bahwa wahyu tertulis telah kanon, yaitu Alkitab satu-satunya firman Tuhan.

Teolog Kharismatik dan Pentakosta menganggap diri mereka tidak sama, walaupun di dalam prakteknya mereka agak sulit dibedakan. Secara umum doktrin dan pengajaran mereka sama. Hal yang paling menonjol adalah dalam penekanan terhadap karunia-karunia Roh. Perbedaan doktrin di antara kelompok Kharismatik atau Pentakosta tidak signifikan.

Gerakan Kharismatik mulai masuk ke Indonesia pada bagian kedua tahun 1960-an melalui penginjil-penginjil dari Amerika Serikat dan Eropa. Pengaruhnya baru menonjol pada dasawarsa berikutnya. Gereja-gereja yang ada (tradisional) kurang tanggap terhadap kebutuhan rohani warga jemaat yang terkait dengan perkembangan masyarakat. Dasawarsa pertama setelah G30S/PKI (1965) ditandai dengan pembangunan nasional oleh pemerintah Orde Baru yang memberi tekanan pada pembangunan ekonomi (yang didukung dana oil boom). Pembangunan ini melahirkan kejutan. Khususnya di kota-kota besar, diperumit oleh kontrol politik yang ketat dari pihak militer dan oleh ketegangan yang tersembunyi antar penganut agama-agama yang berbeda, khususnya antara agama Islam dan Kristen. Ada ketakutan, kekhawatiran, kebingungan dan kekosongan rohani. Orang mencari kepastian, rasa aman dan pegangan hidup. Tetapi pelayanan gereja tradisioal berlangsung secara statis seperti sediakala. Gereja tradisional kurang penggembalaan, kurang memenuhi kebutuha hidup nyata jemaat. Khotbah-khotbahnya hambar di dalam kebaktian yang tidak menyapa hati jemaat. Rohani jemaat menjadi kering dan akhirnya mati.

Banyak faktor-faktor yang terkait dengan kegagalan gereja-gereja tradisional ini. Antara lain kurangnya jumlah (dan mutu) tenaga-tenaga pelayan gereja, dan tiadanya keterkaitan antara pemahaman Injil dengan masalah-masalah yang dihadapi warga gereja dalam masyarakat.

Gerakan Kharismatik yang tampil dalam kelompok-kelompok baik doa maupun sel (komsel, conventicles) mengisi kekosongan itu. Mereka menghadirkan kekristenan dalam format iman yang bernyala-nyala, tuntutan moral yang serius, persaudaraan yang hangat, dan “karunia-karunia” yang nyata. Para aktivis kelompok-kelompok doa itu rajin mendalami Alkitab dengan menonjlkan penguasaan Alkitab (terlepas dari kebenaran penafsirannya), persekutuan yang hangat dengan kosakata Kristen yang khas, nyanyian-nyanyian yang menggugah, saling mendoakan atas persoalan pribadi, penonjolan kesalehan formal serta praktek “karunia-karunia Roh,” khususnya karunia berbahasa lidah dan penyembuhan Ilahi.

Banyak warga jemaat, khususnya golongan menengah dan para pemuda serta mahasiswa di kota-kota besar terjaring ke dalam kelompok ini. Kemudian juga meluas ke daerah pedalaman. Di antara mereka ada yang memiliki masalah pribadi yang berat. Ada pula yang karena merasa tersisih dalam jemaatnya dan menemukan tempat baru dalam persekutuan kaum Kharismatik.

Maraknya gerakan Kharismatik, sebagaimana lazimnya kalau ada gerakan sempalan dalam sejarah gereja, membuat para pemimpin gereja yang sudah ada lebih dulu naik pitam. Kebanyakan mereka bereaksi negatip dan menuduh gerakan Kharismatik itu sebagai kegiatan yang menyesatkan. Sejumlah gereja menyatakan perang terhadap gerakan Kharismatik. Mereka menerbitkan surat-surat penggembalaan dan melarang para pejabat atau warganya aktif dalam kelompok-kelompok doa.  Bahkan ada gereja yang mengucilkan warganya yang terlibat. Ada pula yang dengan bijaksana menyambut tantangan gerakan itu dengan berusaha melakukan pelayanan yang lebih intensif. Misalnya menyelenggarakan tata ibadah minggu keempat setiap bulan dengan nuansa khusus karismatis.

Gerakan Kharismatik menjadi persoalan serius bagi gereja-gereja tradisional. Warga yang tertarik  meninggalkan kegiatan rutin gerejanya, dan ada yang dibaptis ulang. Gerakan Kharismatik memang dimanfaatkan gereja tertentu untuk memperbanyak anggotanya dengan ‘merebut’ warga dari gereja-gereja lain. Gereja tradisional menyebutnya pencurian domba, atau mengail ikan di kolam orang lain. Banyak juga warga yang enggan melepaskan diri dari keanggotaan formal di gerejanya. Mereka berdalih hanya memperdalam penghayatan iman dalam kelompok-kelompok doa. Jadi mereka, warga jemaat, mengkoleksi gereja. Ada yang menyebutnya jajan, ada yang menyebutnya gereja jalan-jalan, gjj.

Gerakan Kharismatik akhirnya melembaga dengan kaum Injili. Dengan gereja-gereja Pentakosta dan menjadi kelompok tandingan terhadap gereja-gereja yang umumnya beraliran oikumenis. Gerakan Kharismatik terus berlangsung dan semakin hari pengaruhnya semakin kuat. Berkolaborasi dengan kelompok injili dan bergabung dengan gerakan oikumenis.

Setidaknya ada empat poin besar yang dipengaruhi oleh gerakan Kharismatik, yaitu:

a. Terhadap dasar iman (kanonitas Alkitab)

Karunia-karunia Rohani adalah hal yang sangat khas di dalam gerakan Kharismatik. Seseorang akan merasa belum sah menjadi seorang Kharismatik jikalau tidak mengakui atau merasakan karunia-karunia yang mereka suarakan. Walupun mayoritas (atau bahkan semua) pengikut gerakan Kharismatik mempercayai bahwa Wahyu Allah secara tertulis telah selesai (kanon) setelah kitab Wahyu 22:21, tetapi mereka masih percaya wahyu yang berupa mimpi atau penglihatan masih berjalan terus. Sepintas kelihatannya hal ini tidak masalah, namun jika sungguh-sungguh direnungkan dengan cermat, maka akan jelas terlihat bahwa konsep ini bertentangan satu sama lain. Itu kalau ingin dipertentangkan. Lihatlah penjelasan berikut.

Apabila seseorang percaya bahwa wahyu tertulis dari Allah telah selesai setelah kitab Wahyu 22:21 ditulis, maka seharusnya wahyu yang berupa mimpi atau penglihatan tidak boleh ada lagi. Rasul Paulus, di dalam suratnya kepada jemaat di Korintus berkata: “Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap. Sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna. Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap. 1 Korintus 13:8-10. Perikop ini mengajarkan bahwa nubuat, “bahasa roh”  dan pengetahuan akan lenyap pada suatu waktu, yaitu ketika yang sempurna tiba. Kunci untuk memahami ayat ini adalah apa yang dimaksud dengan “yang sempurna” dan kapan yang “sempurna” tersebut akan tiba?

Dari segi konteks, dapat diperhatikan bahwa setelah yang sempurna ini tiba, maka masih tinggal iman, pengharapan dan kasih (ayat 13). Dengan demikian, frasa yang “sempurna” tidak boleh dihubungkan kepada pribadi Yesus Kristus, sebab penafsiran yang demikian tidak sesuai dengan konteks ayat ini. Surat Ibrani 11:1 berkata, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat. Jadi, iman tidak diperlukan lagi jika suatu hari kelak Anak manusia telah datang, atau bersama-sama dengan para saleh-Nya di Sorga, sebab Yesus Kristus bukan lagi pribadi yang tidak kelihatan melainkan telah nyata di hadapan anak-anakNya. Jadi, “yang sempurna” ini haruslah sesuatu yang ada di dunia ini sebelum Yesus datang ke dunia.

Penyelidikan ke hingga ke bahasa aslinya akan sangat membantu untuk mengungkapkan apa yang dimaksudkan oleh Paulus tentang “yang sempurna” tersebut. Di dalam bahasa aslinya, kata yang “sempurna” disebut τὸ τέλειον. Kata ini adalah kata sifat, dan dalam kalimat ini dipakai sebagai subtantif (kata benda). Kata ini memiliki gender netral, sehingga pantas dimengerti sebagai “benda yang teleios.” Jadi, jika yang sempurna tersebut adalah sebuh benda. Tafsiran yang lebih dapat dipertanggungjawabkan adalah kata yang “sempurna” tersebut mengacu kepada Alkitab. Itu kalau tafsiran itu benar. Tetapi siapa yang bisa membuktikan itu benar? Kembali ke iman? Di Indonesia dikenal Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia. Tetapi di sunia begitu banyak versi bible, yang memuat kata atau frasa yang berbeda-beda antara satu versi dengan versi yang lainnya. Apakah keberagaman versi ini dapat disebut sempurna?

Jadi, dengan mengatakan bahwa nubuat, dan karunia melakukan mujizat masih ada sampai hari ini, maka itu berarti gerakan Kharismatik telah melakukan serangan terhadap dasar iman Kristen. Alkitab telah menyatakan karunia-karunia tersebut akan berhenti setelah semua kitab di dalam Alkitab selesai ditulis. Paragraph ini tentu menjadi topic perdebatan yang tidak akan pernah dapat diselesaikan, karena perdebatan mengarah kepada pembuktian empiris. Bukti empiris itu yang tidak akan pernah dapat dihadirkan.

Pengaruh yang ditimbulkan oleh gerakan Kharismatik ini membuat banyak orang Kristen mempercayai mimpi, bisikan dan nubuatan-nubuatan yang mereka lakukan. Orang Kristen menjadi terbiasa mendengar bahkan “mengalami” perjumpaan dengan Tuhan, sehingga akan sangat mudah kelak untuk menerima sembarang saudara untuk berbakti bersama. Bahkan Antikristus dengan mujizat dhasyatnya pun kelak mungkin akan diakui sebagai saudara. Fakta paling nyata adalah para anggota jemaat menjadi seperti domba yang kelu yang siap dibawa kepembantaian dan dibantai sendiri oleh gembalanya.

Gerakan Kharismatik tentunya harus merenungkan kembali pernyataan Yesus Kristus yang ditulis di dalam Matius 7:21-23 ini, yang berbunyi: Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!”

Konsep Kharismatik yang mengusung perubahan dengan menghidupkan kembali suasana nabi dan rasul, bahkan lima jabatan gerejawi adalah suatu bentuk serangan terhadap keyakinan tradisional atas penafsiran mereka atas Alkitab. Apakah keyakinan penafsiran seperti yang diterapkan oleh gereja tradisional dapat dipertanggungjawabkan dalam arti menghasilkan buah yang diharapkan oleh Tuhan Yesus?

Tindakan dan keyakinan penafsiran yang dilakukan karismatis perlu diperhadapkan dengan gereja tradisional, sehingga pandangan dan penafsiran yang berbeda yang demikian harus dikritisi secara tegas, dengan teguran yang lemah lembut dan penuh kesabaran. Terutama mengkaji ulang sejarah mujizat dan kesembuhan serta karunia yang dibanggakan ternyata ada pada non Gereja dan non Kristen, tetapi tidak masuk akal karena tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tidak dapat direplikasi dan dimanfaatkan saat dibutuhkan. Sifat karunia itu terlalu spekulatif bukan sesuatu yang pasti dan amin. Contohnya: dengan obat medis penyakit secara umum sudah dapat disembuhkan, tetapi dengan doa belum tentu sembuh.

b. Terhadap tata cara berjemaat

Bagian lainnya yang dipengaruhi oleh gerakan Kharismatik ini bagi gereja-gereja di Indonesia adalah mengenai tata cara di dalam berjemaat. Ajaran Alkitab mengatakan supaya acara pertemuan jemaat harus berlangsung dengan sopan dan teratur (1 Korintus 14:14). Apakah ukuran sopan dan teratur yang berlaku untuk semua orang? Kehadiran gerakan Kharismatik di Indonesia telah melakukan revolusi besar-besaran di bagian ini. Hal yang menyebabkannya adalah gerakan Kharisatik mengadopsi musik duniawi ke dalam gereja. Lagu-lagu contemporary Christian music (CCM) marak dikumandangkan di dalam kebaktian-kebaktian Kharismatik. Ragam musik yang terkandung di dalam lagu-lagu CCM adalah beraliran rock, jazz, pop, dll. Genre music ini membangkitkan emosional jemaat. Akhirnya membuat mereka untuk menangis, bangkit melompat-lompat dan sebagainya yang menjadikan acara berjemaat di dalam gereja tidak kondusif hingga seperti sebuah pertunjukan konser rock. Ini lebih menonjolkan perasaan dan mematikan logika. Perasaan sering menipu manusia.

Kelompok gereja yang setia memakai lagu himne terkadang merasa tidak kuat menghadapi arus modernisasi dari gerakan kharismatik ini. Tidak jarang terlihat gereja-gereja protestan juga terseret dalam kompromi ini. Tindakan kompromi ini diawali dari para pemuda-pemudi di dalam gereja, hingga suatu hari kelak secara total akan menyetujui aliran musik ini. Pertanyaannya adalah apakah Tuhan menyukai ccm atau himne atau keduanya atau tidak satupun?

c. Terhadap peran wanita dan pria di dalam jemaat

Dalam hal peran pria dan wanita dalam jemaat, sangat jelas dikatakan di dalam Alkitab bahwa wanita tidak diperkenankan untuk menjadi gembala jemaat (1 Timotius 3:1-7), bahkan dengan lebih tegas dikatakan perempuan tidak boleh mengajar dan memerintah laki-laki (1 Timotius 2;12). Tentu hal ini dimaksudkan oleh Allah adalah di dalam pertemuan jemaat. Sebagai alasan teologi, Paulus mengatakan karena Adamlah yang pertama diciptakan dan perempuanlah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa (ayat 13-15). Paulus menentang kepemimpinan perempuan dalam jemaat, tetapi Yesus tidak. Empat Maria dan Yohana, Suzana dan Salome adalah tujuh perempuan yang memimpin pengadaan akomodasi perjalanan rombongan Yesus. Maria Magdalena adalah orang pertama yang bertemu Yesus setelah kebangkitanNya dari kematian. Dalam pelayanan Yesus di bumi perempuan mendapat tempat secara khusus, bahkan urapan persiapan penguburannya dilakukan oleh perempuan. Paulus sendiri dalam pelayanannya teryata menyebutkan banyak wanita.

Di dalam gerakan Kharismatik, aturan ini tidak berlaku! Siapapun yang mendapat “Karunia Roh” pantas memimpin. Sehingga penafsiran gereja tradisional tentang ajaran Alkitab ditentang dengan sangat fatal. Oleh karena gerakan Kharismatik semakin populer di Indonesia, dan semakin banyak wanita yang aktif dalam pelayanan gereja-gereja (baik Kharismatik maupun Injili dan Protestan), maka perlahan-lahan konsep ini juga akhirnya diterima. Artinya seiring waktu penafsiran gereja tradisional tentang kepemimpinan wanita mulai berubah.

Jadi pengaruh yang kuat dari gerakan Kharismatik telah membuat gereja-gereja lain menyerah dan meninggalkan ajaran-ajaran yang lebih benar menurut mereka (keyakinan buta). Gereja Kharismatik telah berhasil membuat hambar “garam” dari gereja protestan yang dulunya masih memilihi rasa “asin,” dan sangat mungkin suatu hari kelak “garam” tersebut akan benar-benar hambar dan dibuang serta diinjak-injak orang. Protestan yang sudah tua dan segera mati.

 
Gerakan Kharismatik sudah sangat mempengaruhi kekristenan di Indonesia dalam banyak hal. Kekristenan di Indonesia yang dulunya dianggap “dingin” dalam aktivitas kerohanian, sekarang telah “dibakar” semangatnya oleh para pengikut gerakan Kharismatik.  Kharismatik mendobrak semangat kerohanian orang Kristen di Indonesia, yang secara kasat mata terlihat baik dan rohani. Ada beberapa hal buruk bagi gereja tradisional yang terjadi akibat masuknya gerakan Kharismatik di Indonesia, antara lain dalam aspek keyakinan karena penafsiran terhadap kanonitas Alkitab, tata cara berjemaat dan peran pria dan wanita di dalam kebaktian. Paradox praktek alkitab semakin nyata, membawa kebingungan dan potensi konflik, terutama bagi para pemimpin gereja yang merasa dan menganggap keyakinan ajarannya sudah benar sendiri.

Dari segi kanonitas Alkitab, gerakan Kharismatik melemahkan keyakinan penafsiran gereja tradisioal tentang kanon Alkitab, sebab masih mengakui wahyu Allah jalan terus hingga hari ini. Pertunjukan spektakuler (kesembuhan) dianggap hal yang positip oleh gereja karismatis, padahal sebenarnya menurut gereja tradisional hanya tipu muslihat Iblis untuk membuka jalannya terhadap penerimaan si Antikristus.

Dalam hal tata cara berjemaat, gerakan Kharismatik memasukkan musik duniawi ke dalam gereja, sehingga terkadang antara gereja dan bioskop atau konser musik hampir tidak bisa dibedakan. Menurut keyakinan gereja tradisional, kebaktian berjemaat menjadi kurang teratur oleh karena pengaruh musik ini yang menuntut gerakan-gerakan sensual dan brutal.

Bagian ketiga adalah tentang peran wanita dalam berjemaat. Wanita diperbolehkan menjadi pengajar (gembala), yang sangat bertentangan dengan keyakinan gereja tradisional dalam memilih dan menafsirkan Alkitab (1 Timotius 3:1-7). Hingga akhirnya gereja-gereja Protestan dan Injili ikut terpengaruh. Harus disadari evolusi dan revolusi melanda semua hal di bumi, begitu juga keyakinan penafsiran gereja tradisional terhadap alkitab.

d. terhadap pengembangan budaya mamonisme

Praktik teologi kemakmuran di seluruh dunia pada awal abad kedua puluh satu menyatu dengan gerakan pentekosta karismatis. Pentakostalisme dan Katolikisme karismatik menjamur di seluruh dunia selama lima dekade terakhir.  “Injil kesehatan dan kekayaan” telah terbukti begitu menarik bagi jutaan orang Kristen di seluruh dunia.

Banyak teolog Kristen yang membahas pesan kemakmuran berkaitan dengan apakah itu merupakan kontekstualisasi yang sah dari Injil. Jika tidak, apakah itu merupakan akomodasi sinkretis terhadap doktrin asing dan komitmen etis yang bertentangan dengan Injil Kristus? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu memerlukan penegasan teologis, yang, seperti kebanyakan kasus penegasan, harus dilakukan dengan hati-hati dan penuh kasih, dengan mengingat kemungkinan bahwa gerakan-gerakan baru dapat muncul di antara gereja-gereja yang menawarkan cara baru untuk mengontekstualisasikan Injil sambil tetap pada dasarnya tetap benar. Kemungkinan seperti itu adalah fokus utama dari evaluasi teologis dari pesan kemakmuran.

Pertanyaan yang menarik dan penting untuk memahami persimpangan kemakmuran, teologi, dan ekonomi. Menerapkan analisis canggih dari teologi, studi biblika, etika, studi budaya, antropologi, dan sosiologi agama, mereka bersama-sama memberikan berbagai sudut pandang tentang Pentakostalisme dan gagasan serta praktik teologi kemakmuran. Ada poin ketegangan dan kemungkinan kontradiksi dalam bidang ini;  mewakili perspektif yang berbeda.

Implikasi sosial ekonomi dari Injil kemakmuran nyata dalam kehidupan Kristen Pentakosta / karismatik. Gambaran yang kuat tentang ajaran kemakmuran, ada pada yang kadang-kadang disebut Injil “kesehatan dan kekayaan”.

Injil kemakmuran bukanlah fenomena baru. Salah satu pendahulunya yang paling langsung di Amerika Utara, dan tentu saja aliran silsilahnya yang paling berpengaruh, dapat ditelusuri melalui pembaruan karismatik dan gerakan kebangkitan Hujan Akhir pada pertengahan abad kedua puluh kembali ke ajaran penulis populer seperti antara lain Essek W. Kenyon. Khususnya dalam tradisi yang luas ini, kemakmuran dianggap tidak hanya dalam istilah finansial tetapi juga dalam hubungannya dengan kesehatan tubuh (karena itu disebut “kesehatan dan kekayaan”). Ajaran Kenyon, seperti yang dimediasi oleh tokoh-tokoh Hujan Akhir seperti William Marion Branham dan para pemimpin karismatik seperti Oral Roberts, Kathryn Kuhlman, Kenneth Hagin, dan Kenneth Copeland, di antara banyak lainnya, tidak hanya menginformasikan ruang lingkup praktik diskursif yang memicu penyebaran pesan kemakmuran di seluruh ” global” pada generasi terakhir, tetapi mereka juga telah memotivasi banyak penilaian kritis dari teologi kemakmuran.

Tugas paling eksistensial yang dihadapi orang di seluruh dunia adalah pembangunan ekonomi. Bagi umat Kristen, hal ini menimbulkan pertanyaan mendesak: apa pemahaman dan ajaran gereja tentang kesulitan ekonomi itu? Aspek-aspek ajaran sosial dari gereja-gereja Pentakosta yang berkaitan dengan kemakmuran ekonomi nasional belum terbukti. Ada lima identifikasi paradigma teologis dasar yang membingkai wacana tentang perkembangan ekonomi di antara para pendeta Pentakosta. Ini adalah perjanjian, spiritualitas, kepemimpinan, nasionalis dan pembangunan.

Daya tahan dan daya adaptasi keyakinan agama serta interaksi dinamisnya dengan kekuatan kuat lain di dunia yang mengglobal ini mulai menarik perhatian para peneliti. Di antara mereka adalah mereka yang tertarik untuk memahami faktor-faktor sosial, ekonomi dan politik yang mendorong atau menghambat pembangunan di masyarakat yang sedang berkembang. Satu fokus khusus dari penelitian semacam ini adalah pertumbuhan spektakuler gereja-gereja Kristen Pentakosta di masyarakat sedang berkembang.

Pada abad kedua puluh satu, negara-negara di dunia sedang berkembang masih menghadapi tantangan untuk mengelola kemajuan dan melindungi masyarakat dari sistem yang tidak adil. Namun jalan menuju kehidupan yang lebih baik yang dicita-citakan oleh bangsa terus melibatkan dimensi ekonomi, politik, dan sosial budaya. Maklum, para ahli teori ekonomi telah menggunakan pertimbangan ekonomi dalam upaya mereka untuk menjelaskan perkembangan atau ketiadaannya dari masa kolonial hingga sistem kapitalis global saat ini. Jawaban untuk Masalah ekonomi pada akhirnya terletak pada rakyatnya, bahkan di tengah keadaan yang mengerikan. Nilai-nilai budaya suatu bangsa tidak dapat diubah, juga tidak melekat pada satu ras, pada satu kelompok agama, atau pada satu kelas sosial. Untungnya, adat istiadat, kepercayaan, dan sikap yang bermasalah dapat berubah melalui transformasi struktur sosial-ekonomi, melalui peran utama lembaga politik dan peradilan, dengan program pendidikan yang dirancang untuk tujuan tersebut, dan dengan indoktrinasi gereja.

Setiap musim panas, ribuan orang Kristen evangelis melakukan perjalanan ke Fort Worth, Texas, untuk menghadiri Konvensi Orang Percaya Barat Daya, yang diselenggarakan oleh Kenneth dan Gloria Copeland. Konvensi tersebut adalah salah satu dari beberapa kampanye gaya kebangunan rohani yang diselenggarakan di Amerika Utara dan Eropa oleh Kenneth Copeland Ministries (KCM), bisa dibilang pelayanan Word of Faith utama di Amerika. Kenneth Copeland adalah pengkhotbah terkaya di dunia menurut berbagai sumber. Pertemuan khusus ini adalah yang terbesar karena terdiri dari mereka yang dianggap banyak orang sebagai Lima Besar Tokoh Kata-kata Keyakinan: Jerry Savelle, Jesse Duplantis, dan Creflo Dollar sebagai tambahan dari Copelands (Kenneth dan Gloria). Dari pagi hingga jam tayang utama malam, kelima penginjil ini bergiliran, naik ke panggung di Fort Worth Convention Center. Bagi mereka yang tidak terbiasa dengan nomenklatur Word of Faith, gerakan neocharismatic ini lebih dikenal karena teologi yang didukungnya, Injil kemakmuran kesehatan ilahi dan kekayaan materi. Mitra pelayanan — orang-orang yang berkomitmen untuk mendukung pelayanan Copeland melalui doa dan dukungan keuangan — serta pemirsa tetap melepas pekerjaan, mengatur liburan, dan bahkan mengoordinasikan reuni keluarga untuk menantang panas dan kelembapan di kawasan itu untuk mendengar kata positif kemakmuran dari seseorang penginjil televisi favorit mereka.

Orientasi agama tidak datang ke dunia dalam bentuk penuh, juga tidak dikembangkan terlepas dari struktur ekonomi dan sosial yang lebih luas. Oleh karena itu, “Word of Faith” atau “teologi kemakmuran” memiliki dimensi historis. Secara khusus, teologi kemakmuran berkembang di tengah globalisasi kapitalisme modern yang progresif. Sejalan dengan itu, manusia tidak dapat mengabaikan efek struktur sosial yang lebih luas. Perkembangan masyarakat makro membentuk kontur mikrointim dari subjektivitas manusia (karena sejarah berdampak pada pembentukan “diri” kita). Dengan menghubungkan kedua wawasan ini, teologi kemakmuran bergema dengan orang-orang saat ini karena pengaruh kapitalisme global pada kehidupan sehari-hari. Secara khusus, keyakinan yang menguatkan individu — keyakinan yang secara positif memberi imbalan  atas prestasi, keunggulan, dan kemasyhuran individu — diperlukan karena kelangsungan tempat kerja dalam konteks ekonomi saat ini membutuhkan promosi diri yang agresif. Hubungan antara teologi kemakmuran dan tuntutan kontemporer atas diri modern mengarahkan pelayanannya kepada para pekerja di industri modern.

Sejak berdirinya Republik Rakyat Cina pada tahun 1949 dan penarikan misionaris asing berikutnya, Kekristenan Protestan telah sepenuhnya dipribumikan di Tiongkok dengan merajut dirinya ke dalam bentuk-bentuk ritual, kumpulan asumsi budaya, dan jalinan hubungan kekuasaan yang berasal dari realitas lokal langsung. Dengan tidak adanya otoritas interpretatif pusat, kelompok-kelompok gereja yang independen secara organisasi sering kali terbagi menurut garis pedesaan / perkotaan, oleh perbedaan teologis, dan karena hubungan yang berbeda dengan aparat negara. Pentakostalisme telah menjadi yang paling aktif dan dinamis dari semua kelompok Kristen Tionghoa di luar sistem gereja yang dikontrol secara resmi, sebagian karena kemampuannya untuk beradaptasi dengan perubahan keadaan lokal dan penekanannya pada pengalaman keagamaan langsung masyarakat. Dalam beberapa dekade terakhir perkembangan ekonomi yang dramatis, pertumbuhan sektor Pentakosta Kristen Tionghoa tampaknya semakin menonjol di wilayah tertentu. Ini ada hubungannya dengan perluasan pesat ruang gereja kota baru yang diinformasikan oleh gerakan injil kemakmuran yang sedang berkembang. Dinamika sosial-ekonomi kebangkitan Kristen perkotaan di Cina pasca-Mao dengan fokus pada kebangkitan Injil kemakmuran di wilayah pesisir yang maju.

Istilah ekonomi “neoliberal” dan “neoklasik” sering digunakan secara bergantian dalam jargon ekonomi kontemporer. Secara historis, mereka telah muncul sebagai pengidentifikasi kontekstualisasi teori ekonomi klasik Adam Smith dalam kondisi abad kesembilan belas dan kedua puluh. Oleh karena itu, tidak ada yang benar-benar “neo” dalam neoliberalisme ekonomi. Pada akhir abad kesembilan belas pernyataan Smith tentang “tangan tak terlihat” telah dilucuti dari implikasi metafisik dan telah menjadi “tangan pasar” impersonal yang mampu “memobilisasi bahkan naluri manusia yang paling dasar seperti kerakusan, keserakahan, dan untuk kekayaan dan kekuasaan untuk kepentingan semua.

Mammonisme selalu bersemayam dalam naluri manusia yang paling dasar seperti kerakusan, keserakahan, dan untuk kekayaan dan kekuasaan untuk kepentingan semua. Ini adalah kedagingan dan duniawi. Sistem ekonomi kapitalisme adalah alat utama mammon menyeret dan memenjarakan setiap manusia di bumi ini. Apakah sistem ekonomi Alkitabiah sulit dipahami gereja sehingga membiarkan warga gerejanya pergi ke tempat lain untuk memenuhi kebutuhan mereka? Mengapakah Yesus tidak memberikan pengajaran langsung bagaimana supaya kaya secara material (harta benda) di bumi ini? Mengapa Paulus mengajarkan asal sudah ada makanan dan pakaian sudah cukup? Tetapi Paulus tegas mengatakan kalau orang tidak bekerja jangan dikasih makan!

Pelayanan holistik gereja adalah jawaban Alkitabiah untuk menghadapi abad 21 dan seterusnya terutama di Indonesia. Holistik berarti menggabungkan aspek-aspek yang berbeda sehingga mereka bekerja sama, membawa ‘keutuhan’ tentang pembangunan dalam masyarakat dan komunitas. Di mana gereja cocok. Ketika orang Kristen dan gereja melakukan perubahan holistik, hasilnya dapat membawa transformasi yang luar biasa dalam kehidupan orang-orang. Holistik artinya utuh, satu, kudus. Esa, Allah itu Kudus, Esa. Itulah holistik.

Alkitab yang memuat Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru itu satu, esa, kudus, utuh, holistik. Pelajari secara holistik dan pahami secara holistik kemudian praktekkan secara holistik lalu ajarkan secara holistik. Hindari mengambil sepotong-sepotong, apalagi hanya satu ayat. Kalau alktab sudah menyatu dengan diri kita, kita juga menyatu dengan Tuhan. Kalau kita menyatu dengan Tuhan, otomatis kita kudus, sehingga segala sesuatu mendatangkan kebaikan bagi kita yang dikenan Tuhan. Tidak ada tradisional atau pentakosta atau karismatik…yang ada hanya Yesus untuk kemuliaan Bapa dalam pimpinan Roh Kudus. amin

…bersambung…

Diterbitkan oleh WEABCID

Pelayanan holistik berbasis bisnis sebagai ministri. WEABCID, World Evangelical Alliance Business Coalition Indonesia, dipimpin oleh National Coordinator Rev. Dr. Mahli Sembiring, MSi, CPA, BKP. Koalisi Bisnis WEA adalah departemen bisnis Aliansi Injili Dunia dan berfungsi sebagai pusat informasi & sumber daya yang menyediakan kepemimpinan strategis dan pemikiran bagi para pemimpin bisnis, pelayanan, dan gereja. World Evangelical Alliance adalah organisasi internasional terbesar dari gereja dan pelayanan evangelis dan memberikan identitas, suara, dan platform di seluruh dunia kepada lebih dari 600 juta orang Kristen di 129 negara.

Tinggalkan Balasan

Please log in using one of these methods to post your comment:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: